Beranda / Detail Buku

Detail Buku Pilihan Anda

Silahkan cek detail buku yang Anda pilih

Lupa 3ndonesa

Pengarang: Sujiwo Tejo
ISBN: 978-602-291-225-5
Tahun Terbit: 2017
Kategori:
Rak: A 001 [000 KARYA UMUM]
Penerbit: Hikam Pustaka
Jumlah Buku: 1
Sinopsis: Lupa Endonesa. Ini juga menyerupai kitab-kitab terdahulu tentang lupa, yaitu Lupa Endonesa dan Lupa Endonesa Deui. Apa yang akan sampean baca selanjutnya tak sepenuhnya bersangkan dari saya. Ia berasal dari eyel-eyelan antara saya dengan tulisan yang sedang berjalan dengan nyawanya sendiri. Keduanya bertemu di paran, yaitu di halaman-halaman yang sampean simak. Ketika akan menulis “Rapopo-Rapipi”, sesungguhnya saya ingin menulis emansipasi pria-wanita melalui rumah RA Kartini di Jepara yang menjadi museum tak terawat yang mengenaskan. Kebetulan saya beberapa kali pernah mendalang di kawasan itu. Mampir. Menjadi saksi mata. Tapi pas menulis alinea pertama tiba-tiba ingatan saya ke anak-anak Maia, Vena, Tamara, dan lain-lain. Selain itu, dalam perjalanan tulisan, ketika suatu kata cenderung ingin disambung dengan kata tertentu berikutnya, ketika suatu frasa cenderung ingin dijalin dengan frasa tertentu berikutnya, ketika suatu kalimat cenderung ingin dianyam dengan kalimat tertentu selanjutnya, rangkaian gerbong kalimat itu lambat laun membujuk saya untuk mengenang tarian raksasa Cakil yang dinamis dalam pertunjukan wayang orang. Bujukannya lebih kuat daripada kenangan saya atas rumah Kartini di Jepara. Terjadi tarik tambang antara cicak dan buaya. Lahirlah kadal. Tatkala akan menulis “Buah Simalakancuk” … Niat semula saya membela orang-orang yang hidupnya mengejar harta. Guru-guru saya sering menyetir peristiwa besar tentang seseorang yang siang malam bertekun tafakur di rumah ibadah. Siapa yang menghidupinya? Saudaranya. Ia yang pontang-panting bekerja tak kenal tempo. Siapa yang lebih baik? Ya, saudaranya itulah. Di pihak lain, tulisan yang sedang berjalan punya nasib sendiri untuk menuntun saya sowan batiniah ke periset spiritual kearifan lokal Agus Sunyoto. Kata Pak Kiai ini, di zaman Majapahit, orang-orang kaya kastanya justru rendah. Mereka lebih hina daripada Sudra. Mereka kasta candala. Jadi, ndak selanya juga pengejar harta dipandang baik. Hasilnya? Ya, itu, seperti tadi. Atau bisa juga sebaliknya: saya mendambakan buaya, tulisan mendambakan cicak, sampean dapat kadalnya. O ya, satu lagi tentang tulisan … Secara pukul rata judul tulisan saya baru ketemu setelah tulisan rampung. Sekali dua kali judul saya tera duluan. Ini sekadar untuk patokan atau rel dalam menulis. Tetapi, setamat tulisan hampir pasti judul itu saya ubah lagi. Minimal saya otak-atik lagi. Kalau ngotot bertahan pada rencana awal, hubungan judul dengan tubuh karangan menjadi laksana pengantin lama. Saya lupa, apa, ya, judul awal bab “Wayang Laminating”, “Rakyat Oplosan”, “Sang Mario Lehmu Ngono”, “Sinyal-Sinyal Malasuda”, “Rupiah dan Wali Ke-13” …, dan lain-lain. Tetapi saya jamin, saya pastikan, itu bukan deretan judul pada rencana awal.
Download e-book di sini
Buku ini tidak mempunyai e-book